1. MEMILIKI PENGETAHUAN TENTANG ALLAH TA’ALA
Berilmu tentang Allah mulai dari sifat, kedudukan dan keperkasaan Allah, serta mengetahui bahwa seluruh hal yang terjadi semuanya bermuara kepada ilmuNya yang sangat luas, dan segala hal terjadi sesuai dengan kehendak Allah. Ini adalah langkah pertama seorang hamba yang ingin menjadi orang yang bertawakal kepada Allah, karenanya siapa yang lebih mengenal Allah dan sifatNya maka tawakalnya lebih benar dan lebih kuat.
2. MENETAPKAN ADANYA SEBAB ATAU USAHA DALAM TAWAKAL
Beberapa orang menganggap bahwa mengerjakan sebab adalah tanda dari kelemahan tawakal, padahal siapa yang tidak mengerjakan sebab maka tawakalnya tidak akan benar. Para ulama ijma bahwa mengerjakan sebab tidak menapik tawakal bahkan tidaklah ada tawakal kecuali disertai mengerjakan sebab. Berkata Sahl bin Abdullah RadhiaAllahu Anhu,
الطَّعْنُ فِي الحَرَكَةِ طَعْنٌ فِي السُّنَّةِ، وَالطَّعْنُ فِي التَّوَكُّلِ طَعْنٌ فِي الإِيْمَانِ؛ فَالتَّوَكُّلُ إِيْمَانُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالحَرَكَةُ سُنَّتُهُ، فَمَنْ عَمِلَ عَلَى حَالِهِ فَلَا يَتْرُكَنَّ سُنَّتَهُ
Menghujat usaha sama dengan menghujat Sunnah, dan menghujat tawakal sama dengan menghujat iman, karena tawakal adalah keadaan Nabi Shallalahu alaihi wa Sallam, dan usaha adalah sunnahnya, oleh karna itu siapa yang ingin beramal sesuai dengan keadaan Nabi maka jangan meninggalkkan sunnahnya.[1]
3. KEKUATAN TAUHID DALAM HATI
Tidak akan terwujud tawakal seseorang melainkan dengan tauhid, semakin hati seseorang kokoh dengan tauhid dan bersih dari syirik maka semakin benar tawakalnya, namun jika seorang hamba berpaling kepada selain Allah maka itu akan membawa hatinya menjauh dari tauhid, maka akan berkurang ketawakalannya.
4. MERASA TENANG DENGAN MENYANDARKAN HATI KEPADA ALLAH
Hati orang yang bertawakal tidak bersandar dengan sebab yang ia lakukan, bahkan mereka melepaskan rasa tenang dari hatinya karena sebab, dan memakai pakaian ketenangan karena bersandar kepada Allah, ini layaknya seseorang yang keluar dan menghadapi musuh yang banyak yang tak mampu ia lawan, lalu kemudian ia melihat adanya sebuah benteng yang terbuka, ia pun masuk lalu menutup pintu benteng tersebut agar tidak ada yang masuk melukainya, maka diwaktu tersebut kekhawatirannya pun akan hilang. Bahkan sebagian ulama memisalkan orang yang bertawakal itu layakanya seorang bayi yang tidak mengetahui tempat bersandar kecuali kepada dada ibunya, begitulah orang yang bertawakal ia tidak bersandar kecuali kepada Allah.
5. HUSNUDZON KEPADA ALLAH
Sesuai dengan kadar prasangka serta harapanmu kepada Allah itulah tawakalmu, karnanya para salaf ada yang menafsirkan tawakal dengan husnudzon kepada Allah, yakni berprasangka baik kepada Allah. Husnuzon kepada Allah adalah dorongan besar agar dapat bertawakal, karena bagaiamana bisa bertawakal kepada sosok yang kamu menilainya buruk, dan bagaiamana bisa bertwakal kepada sosok yang kamu tidak harapkan?.
6. BERSERAH DIRI, MEMASRAHKAN SELURUH PERKARA KEPADA ALLAH SERTA TIDAK MEMPERDEBATKAN APA YANG ALLAH TENTUKAN.
Berserah diri dengan apapun yang Allah atur dan kehendaki untuk kita, maka disini para ulama mengatakan berserah dengan aturan Allah layaknya seorang hamba yang tunduk kepada majikannya, serta pasrah dan meninggalkan keinginan-keinginannya jika berhadapan dengan majikannya.
7. MENGGANTUNGKAN SELURUHNYA KEPADA ALLAH.
Ini adalah hakikat dan ruh dari tawakal yaitu menggantungkan seluruhnya kepada Allah, layaknya seorang anak yang lemah, yang seluruh kebutuhannya ditanggung oleh ayahnya, dan dia mengetahui bahwa ayahnya begitu memperhatikan serta sayang kepadanya, menjaganya juga mampu mengatur kehidupannya. Tentu anak ini menilai bahwa apa yang dilakukan ayahnya untuknya lebih baik dibanding apa yang dia lakukan untuk dirinya sendiri. Karena ia tidak mendapati ada yang lebih tepat untuk menggantungkan kebutuhannya melebihi ayahnya.
Disarikan dari perkataan Al Imam Ibnu Qoyim Al Jauziyah dalam Madarijus Salikin hal 1750-1761 jilid 3 cet. Dar Al Somi’i.