Jika diperhatikan biasanya orang-orang akan nge-block saat merasa terganggu, atau terancam. Beberapa orang kerap block kontak seseorang di handphone-nya karena merasa terganggu.
Block atau menutup adalah suatu langkah yang diambil guna menjaga diri dari gangguan yang kiranya membahayakan. Rasulullah juga kerap mem-block atau menutup hal-hal yang dapat memicu sesuatu yang berbahaya.
Rasulullah merupakan orang yang bijaksana dan sangat sayang terhadap umatnya, karenanya beliau bersemangat untuk menutup jalan-jalan yang kiranya dapat membahayakan umatnya. Perkara yang paling membahayakan untuk umatnya adalah jika umatnya jatuh ke dalam dosa yang besar, yaitu syirik.
Allah berfirman,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴿١٣﴾
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS. Luqman 13)
Rasulullah bersabda,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ، قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ
dari Abdullah radliallahu ‘anhu mengatakan; Saya bertanya; ‘ya Rasullah, Dosa apa yang paling besar? ‘ Beliau menjawab: “engkau menjadikan tandingan bagi Allah padahal Dia-lah yang menciptakanmu.” (HR. Bukhari)
Larangan-larangan Allah dan RasulNya kepada segenap manusia, kerap kali didasari untuk mem- block atau menutup celah masuk ke dalam dosa syirik ini, seperti dalam hadist,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan (tidak pernah dilaksanakan di dalamnya shalat dan juga tidak pernah dikumandangkan ayat-ayat Al Quran, sehingga seperti kuburan), dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai ‘id (hari raya, yakni tempat yang selalu dikunjungi dan didatangi pada setiap waktu dan saat), bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada.”
Pertama terdapat larangan menjadikan rumah sebagai kuburan, dan pada hadist lain,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, sesungguhnya syetan itu akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al Baqarah.” (HR. Muslim).
Dari larangan ini kita mendapati bahwa kuburan bukanlah tempat shalat atau tempat baca Al Quran, secara umum bukan merupakan tempat ibadah, dan ini menutup celah orang-orang datang ke kuburan tertentu untuk melakukan sebuah ibadah, karena sangat berpeluang menjadikan kuburan sebagai tempat keramat, yang nantinya dapat menjadikan orang-orang tersebut meminta kepada sohibul kubur.
Larangan yang kedua adalah menjadikan kuburan Nabi sebagai ied. Ied secara bahasa adalah sesuatu yang diulang-ulang, dan ied bisa berkaitan dengan waktu juga bisa berkaitan dengan tempat, seperti iedul fitri itu berkaitan dengan waktu, Masjidil Haram adalah tempat yang didatangi berulang-ulang. Maka menjadikan kuburan Nabi sesuatu yang kerap dikunjungi berulang-ulang, atau bershalawat berulang-ulang di kuburan Nabi itu adalah menjadikan kuburan sebagai ied. Makanya tidak kita dapatkan para sahabat selalu mengunjungi kuburan Nabi shallahu alaihi wa sallam. Belum lagi, hadist diatas adalah petunjuk yang jelas bahwa perkataan Rasul, “bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada”. Merupakan sebuah isyarat diantara tindakan ied pada kuburan Nabi adalah pergi ke kuburan untuk bershalawat kepada Nabi, maka itu tidak diperlukan, cukup bershalawat dimana saja, shalawatnya akan sampai kepada Nabi Shallahu alaihi wa sallam.
Bahkan Nabi telah melarang bersafar dalam rangka ibadah dan meyakini keutamaan melainkan ke tiga tempat saja
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
Tidaklah pelana itu diikat-yaitu tidak boleh bersengaja melakukan perjalanan (dalam rangka ibadah ke suatu tempat) kecuali ketiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan Masjidil Aqsha”. (HR. Bukhari)
Hal-hal semisal ini kerap diwanti-wanti oleh Nabi, semuanya agar tidak terjelembab kepada kesyirikan.
Karena itulah penerus khilafah dan dakwah Nabi Shallahu alaihi wa sallam, Amirul mukminin Umar bin Khattab, melakukan hal yang sama, mem-block sarana kesyirikan,
أمر عمر بن الخطاب بقطع الشجرة التي بويع تحتها النبي صلى الله عليه وسلم فقطعها لأن الناس كانوا يذهبون فيصلون تحتها فخاف عليهم الفتنة
Umar memerintahkan memotong pohon yang dahulu para sahabat berbaiat dibawah pohon tersebut, karena orang-orang mulai mendatangi pohon tersebut dan shalat dibawah pohon tersebut, maka Umar khawatir fitnah, dan akhirnya dipotong.[1]
Begitu banyak larangan yang datang guna mem-block dosa-dosa yang lebih besar, seperti zina, makanya terdapat larangan menyentuh yang non muhrim, juga larangan bermusuhan yang dari situ terdapat larangan ghibah yang kiranya dapat menjadikan orang bermusuhan, dan seterusnya.
Maka, block-lah segala yang telah Rasulullah larang.
Jakarta, 28 Agustus 2021
[1] Al Bida’ wa Nahyu Anha, Libni Wadhoh