Setiap hati manusia, terdapat beberapa karakter, seperti rasa suka, senang, sedih, sampai rasa jengkel.
Rasa kesal atau jengkel yang kerap mampir dalam hati dibeberapa keadaan tidak boleh ada di tiga hal yang telah dikatakan oleh Nabi shallahu alaihi wa sallam, jika kita menginginkan hati yang bersih.
Rasulullah bersabda,
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُؤْمِنٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَالنَّصِيحَةُ لِوُلَاةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
Tiga perkara tidak boleh hati seorang muslim jengkel dengannya, mengikhlaskan perbuatannya hanya karena Allah, memberi nasehat kepada penguasa kaum muslimin dan bergabung dengan jama’ah (kelompok) mereka. Karena doa mereka akan selalu menyelimuti (meliputi) dibelakang mereka.” (Hr. Ibnu Majah)
Kalimat يَغِل\يُغِل dapat dibaca dengan kasrah atau dhammah pada huruf ‘Ya. Yang bermakna benci, dan khianat.
Maka hati seorang mukmin harus bersih dalam menerima hadist ini, serta menjalankan isinya tanpa khianat sedikitpun, karena siapa yang mampu menerima kabar ini dan menjalankannya tanpa ada rasa jengkel didalam hati maka akan terjaga hatinya dari keburukan.[1]
Orang-orang jahiliyah sangat memiliki kaitan erat dengan tiga hal diatas, semua perkara yang ada dalam hadist dilanggar secara terang-terangan oleh orang-orang jahiliyah, karenannya Imam Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi dalam risalahnya berjudul Masailul Jahiliyah Allati Khalafaha Ahlal Islam, perkara-perkara jahiliyah yang diselisihi Islam, menyebutkan bahwa tiga perkara yang identik dengan orang jahiliyah adalah, Syirik, pecah belah, tidak dengar dan taat kepada pemimpin.[2]
Seorang mukmin pada setiap gerak geriknya, mulai dari ibadahnya, muamalah, pergaulannya memiliki satu konsep besar yaitu ikhlas tulus untuk Allah, begitupula semangatnya bersatu diatas kebenaran dari Allah dan rasulNya serta bersatu dibawah pemimpin muslim yang sah, juga kerap menasihati pemimpin dengan segala daya dan upaya mulai dari doa agar mereka mendapatkan hidayah, dan menasihati semampunya, karnanya kita dapati bahwa perbedaan yang mencolok antara ahlusunnah dan ahlul ahwa dalam permasalahan ini begitu signifikan, berkata Imam Al Barbahari Rahimahullah,
إذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم أنه صاحب هوى ، وإذا سمعت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة إن شاء الله
Jika kamu melihat seseorang mendoakan keburukan kepada pemimpinnya maka ketahuilah ia merupakan pengikut hawa nafsu, dan jika kamu mendengar seseorang mendoakan kebaikan untuk pemimpinnya maka ketahuilah ia pengikut sunah insyaAllah. (Syarhu Sunnah Lil Barbahari)
Fudhail bin Iyadh pernah mengatakan suatu perkataan yang sangat menunjukkan kuatnya ilmu serta dalamnya pemahaman para salaf, ia mengatakan,
يقول فضيل بن عياض : لو كان لي دعوة مستجابة ما جعلتها إلا في السلطان .
Jika aku memiliki satu kesempatan doa yang pasti akan diijabah oleh Allah, maka aku akan mendoakan kebaikan pemimpin.
Orang-orangpun bertanya, Jelaskan kepada kami alasannya?”.
Beliau mengatakan, jika aku jadikan kesempatan tersebut hanya untuk kebaikan diriku, maka manfaatnya hanya untukku, namun jika aku berikan kesempatan itu untuk pemimpin, maka kebaikan pemimpin akan menjadikan masyarakat dan negara juga baik, maka kita tidak diperintahkan mendoakan yang buruk bagi pemerintah, akan tetapi mendoakan yang baik-baik walau mereka jahat lagi dzalim, karena keburukan yang mereka lakukan akan mereka tanggung sendiri, tapi kalau mereka baik akan bermanfaat untuk diri mereka dan kaum muslimin secara umum.[3] Setelah Fudhail Bin Iyadh mengatakan perkataanya tersebut Ibnul Mubarak bangun mencium keningnya sebagai tanda takjub serta penghormatan lalu mengatakan,
يا معلم الخير من يحسن هذا غيرك
Anda benar-benar pengajar kebaikan, siapa yang mampu mengungkap Mutiara ini selainmu.[4]
Maka ini derajat pemahaman yang begitu dalam lagi mengundang decak kagum yang tidak mampu diraih oleh setiap orang.
Disamping dahsyatnya dan dalamnya pemahaman Fudhail bin Iyadh ada orang-orang yang tidaklah mengisi harinya melainkan selalu mendoakan pemimpin dengan keburukan, padahal Anas bin Malik mengatakan, Para senior dari kalangan sahabat nabi telah melarang kami dengan perkataan Nabi,
لا تسبوا أمراءكم و لا تغشوهم و لا تعصوهم و اتقوا الله و اصبروا
Janganlah kalian menghina pemimpin kalian, jangan pula dicurangi, jangan bermaksiat, bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah[5]
Sungguh pemahaman dalam seperti ini tidak mampu diraih kecuali dengan orang yang memang mempraktekan sunnah dalam dirinya. Semoga Allah merahmatinya.
Karenanya hati seorang mukmin harus bersih dalam menerima hadist ini, serta menjalankan isinya tanpa khianat sedikitpun, karena siapa yang mampu menerima kabar ini dan menjalankannya tanpa ada rasa jengkel didalam hati maka akan terjaga hatinya dari keburukan.[6]
Semoga kita dapat menerima serta menjalani hadist ini dengan perasaan lapang.
Rabius Tsani 1443 H
Jakarta 11-11-20216
[1] Al Kasyif an Haqaiq Sunan Lii At Tibi 684\2, Syarah Usul Sittah Syeikh Abdurazzaq.
[2] Syarah Usul Sittah Syeikh Abdurazzaq.
[3] Siyar (8\434)
[4] Al Fawaidul Asyr min Hadisti Hudzaifah
[5] HR. Baihaqi dalam Syuabul Iman, Syeikh Al Bani mengatakan Isnadnya Jayid
[6] Al Kasyif an Haqaiq Sunan Lii At Tibi 684\2, Syarah Usul Sittah Syeikh Abdurazzaq.